Sabtu, 12 Maret 2011

Asal-usul Bahtsul Masail

Pondok pesantren sebagai satu padepokan untuk memperdalam ilmu agama, sejauh ini dipahami sebagai tempat yang sejuk, tenang, dan damai. Didalamnya para santri mencurahkan tenaga dan pikiran untuk belajar dan membentuk karakter, sementara pengasuh pesantren (kyai) menyerahkan diri dan jiwa mereka dengan tulus untuk pengajaran dan teladan hidup. Persepsi masyarakat umum yang beranggapan bahwa pondok pesantren cenderung melestarikan tradisi feodal, kepemimpinan yang sentralistik dan otoriter tentu saja merupakan persepsi yang keliru dan tidak berdasarkan kenyataan. Di lingkungan pondok peesantren ada tradisi unik dalam melestarikan pemecahan problem-problem yang berkembang di masyarakat, baik masalah agama maupun problematika kebangsaan dengan cara bertukar pikiran sesama santri atau sesama kyai. Tradisi itu namanya bahtsul masail (pembahasan masalah-masalah agama). Dokumen-dokumen yang menginformasikan kelahiran dan perkembangan lajnah tersebut baik latar belakang, metode, objek, maupun pelaku sejarahnya masih sangat sedikit. KH. A. Aziz Masyhuri sendiri pimpinan Pondok Pesantren Al-Aziziyyah Mamba’ul Ulum Denanyar Jombang, salah seorang tokoh pelaku dan yang membukukan sebagian hasil Lajnah Bahtsul masail juga mengakui masih minim atau jarangnya warga Nadliyin yang mendokumentasikan hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas NU. Hal ini karena adanya sikap progmatis warga Nadliyin. Dalam arti yang dipentingkan adalah hasilnya, sedangkan dokumentasi lain seperti latar belakang lahirnya, perdebatan yang terjadi di forum itu serta para ulama yang berperan didalamnya tidak diarsipkan, sehingga yang ada sampai sekarang hanyalah hasil keputusan Lajnah Bahtsul Masail. Namun bila ditinjau dari latar belakang berdiri dan anggaran dasar NU, maka sedikit dapat direkontruksi latar belakang munculnya bahtsul masail (pengkajian masalah- masalah agama) yaitu adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam praktis bagi kehidupan sehari-hari yang mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari solusinya dengan melakukan bahtsul masail. Dan bila ditelusuri hasil-hasilnya pertama dilaksanakan pada tahun 1926, beberapa bulan setelah berdirinya NU. Perlu dicatat meskipun kegiatan bahtsul masail sudah ada sejak kongres atau Muktamar I namun institusi Lajnah Bahtsul Masail baru resmi ada pada Muktamar XXVIII di Yogyakarta tahun 1989, ketika komisi I bahtsul masail merekomundasikan kepada PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail “Diniyah” (lembaga pengkajian masalah-masalah Islam) sebagai lembaga permanen yang khusus menangani persoalan keagamanan, hal ini didukung oleh halaqah (sarasehan) Denanyar yang diadakan pada tanggal 26-28 Januari 1990 bertempat di Pondok Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang yang juga merekomundasikan dibentuknya Lajnah BM Diniyah dengan harapan dapat menghimpun para Ulama dan intelektual NU untuk melakukan Istinbath Jam’iy (penggalian dan penetapan hukum secara kolektif). Berkat desakan Muktamar XXVIII dan halaqah Denanyar tersebut. Akhirnya pada tahun 1990 terbentuklah Lajnah Bahtsul Masail Diniyah berdasarkan surat keputusan PBNU No.30/A.1.05/5/1990. Pada mulanya bahtsul masail dilaksanakan setiap tahun, yaitu pada Muktamar I sampai dengan Muktamar XVII (1946-1947) Muktamar XVIII dan XIX (1950-1951) Muktamar XX dan XXI (1954-1956). Pemikiran juga bahtsul masail yang menyertai konferensi besar maupun musyawarah Nasional ‘alim ulama terselanggara kurang stabil selama kurun waktu 1957-1979, pada periode ini bahtsul masail hanya 8 kali terlaksana. Baru pada periode 1980-1990an bahtsul masail dapat berlangsung secara periodik sekitar 2 sampai 3 tahun sekali dalam silih bergantinya musyawarah nasional dan muktamar. Sejak tahun 1926-1999 telah diselenggarakan bahtsul masail tingkat nasional sebanyak 39 kali. Namun karena ada beberapa ada muktamar yang dokumennya belum atau tidak ditemukan yaitu muktamar XVII, XVIII, XIX, XXI, XXII dan XXIV. Maka berdasarkan yang dapat dihimpun hanya ditemukan 33 kali bahtsul masail yang menghasilkan 505 keputusan.

Tidak ada komentar: