Senin, 21 Maret 2011

Melawan Budaya Korupsi dengan Pendidikan Anti Korupsi


Korupsi telah menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa Indonesia. Korupsi sudah menjalar hingga institusi-institusi masyarakat terkecil. Korupsi sudah tidak lagi selalu berkait dengan penyimpangan dalam birokrasi struktura, namun juga telah mengakar dalam budaya hidup sehari-hari masyarakat.
Pemberantasan korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun masih terus berjalan, namun meski berbagai upaya tegas menindak perilaku korupsi telah dilakukan, nyatanya korupsi masih saja menggurita. Sebagai Negara yang mengaku sedang serius memberantas korupsi, Indonesia memiliki perangkat hukum yang cukup lengkap. Ada content of law (TAP MPR, UUD, UU Anti Korupsi, dll), dan structure of law (KPK, Polisi, Jaksa, Hakim, dll) yang telah lama dipakai sebagai kekuatan untuk memerangi korupsi di Indonesia dari tingkat pusat hingga daerah. Lalu, mengapa tidak ada perubahan yang signifikan?
Hamim Ilyas, doktor dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyatakan bahwa maslah terletak pada budaya hukum yang dijalan pada saat ini. Meskipun penegakan hukum sangat penting, pada sisi lain, pemberantasan korupsi harus dijalankan secara simultan. Tidak hanya penyelesaian kuratif melalui hukum, kita perlu merambah ke usaha-usaha preventif melalui pembangnan kesadaran tiap warga. Karena itulah pendidikan anti korupsi mulai dilirik sebagai alternatif untuk membangun kesadaran korupsi secara kultural dan moral.
Melalui pendidikan, diharapkan permasalahan diseputar tindak korupsi bisa dipahami dengan lebih mendalam. Peserta didik bisa mengenal apa itu korupsi, bentuk-bentuknya, dampak, dan juga sekaligus sanksi hukum yang akan diterima. Dari pengetahuan inilah diharapkan mereka bisa memiliki kesadaran untuk mencegah dan mengatakan tidak pada korupsi. Karena korupsi yang telah menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan lini kehidupan, pendidikan anti korupsi seyogyanya tidak hanya diperuntukkan bagi peserta didik di lembaga sekolah saja, namun juga untuk masyarakat secara luas, khususnya perangkat negara.
Salah satu hal yang amat penting dalam pencegahan korupsi, menurut Ghoffar, adalah keteladanan dan kepemimpinan. Dimulai dari wilayah terkecil, keluarga oleh orang tua, sekolah dari guru-guru, organisasi masyarakat oleh para tokoh masyarakat, dan lembaga pemerintahan dari para birokratnya.
Akan sangat menggelikan, jika Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama menyusun kurikulum anti korupsi, tetapi pada kenyataannya kedua lembaga ini masih saja penuh dengan praktik-praktik korupsi. Dalam situasi korupsi yang sudah akut ini, tak heran jika banyak orang pesimis dengan langkah yang diambil Diknas dan Depag se-Indonesia untuk memperkecil perilaku korupsi melalui pendidikan anti korupsi. Namun, seperti yang dinyatakan Ghoffar, keberhasilan tidak selalu berangkat dari hal-hal bersar.

Sejarah Museum Kretek Kudus

   Benda-benda kuno yang ada hubungannya dengan industri rokok, perlu kita ketahui apa penyebab museum kretek ini didirikan di tengah-tengah masyarakat Kudus yang pernah mengalami masa kejayaan, sehingga kota Kudus dijuluki sebagai Kota Kretek. Setelah kita ketahui mengenai peristiwa-peristiwa tentang penemuan rokok kretek, museum kretek ini merupakan perwujudan dari kota Kudus sebagai kota kretek sekaligus sebagai objek wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi.
   Museum Kretek didirikan atas prakarsa dari Bapak Soepardjo Roestam sewaktu beliau menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Prakarsa itu timbul sewaktu beliau berkunjung ke kota Kudus pada tahun 1980 dan melihat secara langsung bahwa potensi yang dimiliki oleh perusahaan rokok Kudus sangat besar konstribusinya dalam menggerakkan perekonomian daerah. Potensi  ini dilihat oleh  Bapak  Soepardjo Roestam, bukan dari segi  penghasilan  tenaga kerja dan sumbangan sosial yang didapat oleh  negara dari pita cukai rokok, melainkan juga dari segi tenaga kerja dan sumbangan sosial yang dikeluarkan perusahaan rokok sangatlah besar sekali bagi masyarakat dan sekitarnya.
   Disamping potensi yang dihasilkan, juga faktor historis yang tidak dapat lepas dari nama kota Kudus sendiri, yaitu tentang kelahiran rokok kretek yang ditemukan oleh masyarakat Kudus asli. Tidak semua orang tahu bahwa rokok kretek tercipta sebagai obat penyakit saluran pernafasan seperti sakit tenggorokan dan asma. Kisah kretek bermula dari kota Kudus. Menurut kisah yang hidup dikalangan para pekerja pabrik rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan H. Djamari pada kurun waktu sekitar tahun 1870-1880an. Awalnya, penduduk asli kudus ini merasa sakit pada bagian dada, lalu ia mengoleskan minyak cengkeh, dan akhirnya sakitnya reda. H. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. Kala itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. H. Djamari melakukan modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap rokok ciptaannya, H. Djamari merasa sakitnya hilang. Ia memberitahukan penemuannya ini kepada kerabat dekatnya. Berita ini menyebar cepat. Permintaan rokok obat ini pun mengalir. H. Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh. Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi kemeretek, maka rokok temuan H. Djamari ini dikenal dengan rokok kretek. Awalnya rokok kretek dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10 , tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek kian dikenal, namun tak begitu dengan penemunya. H. Djamari diketahui meninggal pada tahun 1890. Hanya temuannya itu yang masih terus berkembang. Sepuluh tahun kemudian, penemuan H. Djamari menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di kota Kudus.
   Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada tahun , dan pada tahun 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek Tjap Bal Tiga.Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia Beberapa babad legenda yang beredar di Jawa, rokok sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelum H. Djamari dan Nitisemito merintisnya. tercatat dalam kisah Roro Mendut karya Ajib Rosidi, yang menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri oleh Tumenggung Wiroguno salah seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung menjual rokok klobot (rokok kretek dengan bungkus daun jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan ludahnya.
   Sekitar tahun 2002, perkembangan rokok di Kudus sangat pesat. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya perusahaan rokok besar maupun kecil. Yang paling besar adalah PR. Djarum  yang didirikan pada tahun 1951, kemudian PR. Nojorono yang didirikan pada tahun 1932, disusul PR.Sukun pada tahun 1948 dan PR. Jambu Bol yang didirikan pada tahun 1937. Setelah melihat potensi perkembangan perusahaan rokok yang semakin besar tersebut,Bapak Soepardjo Roestam mengimbau pada sejumlah perusahaan rokok kretek yang sudah maju untuk melestarikan budaya bangsa. Akhirnya pada tahun 1983 para pengusaha yang tergabung dalam PPRK (Persatuan Perusahaan Rokok Kretek Kudus) sepakat untuk melestarikan budaya dalam peradaban manusia pada masa lampau mengenai sejarah perkembangan rokok kretek melalui pendirian museum kretek, maka mulai tanggal 11 Desember 1984, PPRK dan pemerintah daerah melalui pembangunan tersebut dengan peletakan batu pertama oleh Bapak Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kudus yang pada masa itu masih dijabat oleh Bapak Hartono. Sehingga pada tahun 1986 selesailah sudah pembangunan museum kretek yang terletak di kota Kudus, tepatnya di desa Getas Pejaten, Kecamatan Jati, dan museum tersebut diresmikan penggunaannya oleh Menteri Dalam Negeri, Bapak Soepardjo Roestam pada tanggal 3 Oktober 1986. Dalam pembangunan museum kretek, tentu tidak dapat lepas dari tokoh-tokoh pendiri Museum Kretek.
   Berikut adalah nama-nama tokoh pendiri Museum Kretek Kudus : Soepardjo Roestam, Isma’il, Bambang Hartono, Budi Santoso, Budi Hartono, Quey Way, Drs. Pamuji, Sie Hieng Swie, H. Nawawi, H. Tas’an, dan Drs. H. Jufan.
   Adapun tujuan didirikannya Museum Kretek Kudus adalah : a) Untuk menyelamatkan benda-benda bersejarah, khususnya yang berhubungan dengan sejarah perkembangan rokok kretek; b) Untuk memupuk jiwa wiraswasta di kalangan generasi muda Kudus, agar semangat wiraswasta yang dimiliki oleh tokoh pendiri perusahaan rokok terdahulu dapat mencabuk generasi muda Kudus dan sekitarnya; c) Sebagai informasi tentang sejarah dan perkembangan rokok di Kudus pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Terima Kasih . . . 

Sabtu, 12 Maret 2011

Asal-usul Bahtsul Masail

Pondok pesantren sebagai satu padepokan untuk memperdalam ilmu agama, sejauh ini dipahami sebagai tempat yang sejuk, tenang, dan damai. Didalamnya para santri mencurahkan tenaga dan pikiran untuk belajar dan membentuk karakter, sementara pengasuh pesantren (kyai) menyerahkan diri dan jiwa mereka dengan tulus untuk pengajaran dan teladan hidup. Persepsi masyarakat umum yang beranggapan bahwa pondok pesantren cenderung melestarikan tradisi feodal, kepemimpinan yang sentralistik dan otoriter tentu saja merupakan persepsi yang keliru dan tidak berdasarkan kenyataan. Di lingkungan pondok peesantren ada tradisi unik dalam melestarikan pemecahan problem-problem yang berkembang di masyarakat, baik masalah agama maupun problematika kebangsaan dengan cara bertukar pikiran sesama santri atau sesama kyai. Tradisi itu namanya bahtsul masail (pembahasan masalah-masalah agama). Dokumen-dokumen yang menginformasikan kelahiran dan perkembangan lajnah tersebut baik latar belakang, metode, objek, maupun pelaku sejarahnya masih sangat sedikit. KH. A. Aziz Masyhuri sendiri pimpinan Pondok Pesantren Al-Aziziyyah Mamba’ul Ulum Denanyar Jombang, salah seorang tokoh pelaku dan yang membukukan sebagian hasil Lajnah Bahtsul masail juga mengakui masih minim atau jarangnya warga Nadliyin yang mendokumentasikan hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas NU. Hal ini karena adanya sikap progmatis warga Nadliyin. Dalam arti yang dipentingkan adalah hasilnya, sedangkan dokumentasi lain seperti latar belakang lahirnya, perdebatan yang terjadi di forum itu serta para ulama yang berperan didalamnya tidak diarsipkan, sehingga yang ada sampai sekarang hanyalah hasil keputusan Lajnah Bahtsul Masail. Namun bila ditinjau dari latar belakang berdiri dan anggaran dasar NU, maka sedikit dapat direkontruksi latar belakang munculnya bahtsul masail (pengkajian masalah- masalah agama) yaitu adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam praktis bagi kehidupan sehari-hari yang mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari solusinya dengan melakukan bahtsul masail. Dan bila ditelusuri hasil-hasilnya pertama dilaksanakan pada tahun 1926, beberapa bulan setelah berdirinya NU. Perlu dicatat meskipun kegiatan bahtsul masail sudah ada sejak kongres atau Muktamar I namun institusi Lajnah Bahtsul Masail baru resmi ada pada Muktamar XXVIII di Yogyakarta tahun 1989, ketika komisi I bahtsul masail merekomundasikan kepada PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail “Diniyah” (lembaga pengkajian masalah-masalah Islam) sebagai lembaga permanen yang khusus menangani persoalan keagamanan, hal ini didukung oleh halaqah (sarasehan) Denanyar yang diadakan pada tanggal 26-28 Januari 1990 bertempat di Pondok Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang yang juga merekomundasikan dibentuknya Lajnah BM Diniyah dengan harapan dapat menghimpun para Ulama dan intelektual NU untuk melakukan Istinbath Jam’iy (penggalian dan penetapan hukum secara kolektif). Berkat desakan Muktamar XXVIII dan halaqah Denanyar tersebut. Akhirnya pada tahun 1990 terbentuklah Lajnah Bahtsul Masail Diniyah berdasarkan surat keputusan PBNU No.30/A.1.05/5/1990. Pada mulanya bahtsul masail dilaksanakan setiap tahun, yaitu pada Muktamar I sampai dengan Muktamar XVII (1946-1947) Muktamar XVIII dan XIX (1950-1951) Muktamar XX dan XXI (1954-1956). Pemikiran juga bahtsul masail yang menyertai konferensi besar maupun musyawarah Nasional ‘alim ulama terselanggara kurang stabil selama kurun waktu 1957-1979, pada periode ini bahtsul masail hanya 8 kali terlaksana. Baru pada periode 1980-1990an bahtsul masail dapat berlangsung secara periodik sekitar 2 sampai 3 tahun sekali dalam silih bergantinya musyawarah nasional dan muktamar. Sejak tahun 1926-1999 telah diselenggarakan bahtsul masail tingkat nasional sebanyak 39 kali. Namun karena ada beberapa ada muktamar yang dokumennya belum atau tidak ditemukan yaitu muktamar XVII, XVIII, XIX, XXI, XXII dan XXIV. Maka berdasarkan yang dapat dihimpun hanya ditemukan 33 kali bahtsul masail yang menghasilkan 505 keputusan.

Sejarah Berdirinya Menara Kudus

Tidak jelas kepastian pendirian menara beserta masjid itu, karena hingga saat ini belum ada yang dapat memberikan keterangan kapan waktu dibangunnya secara jelas. Namun berdasarkan inskripsi para prasasti berukuran bingkai panjang 46 cm dan lebar 30 cm diatas mihrab atau tempat penginapan, menunjukkan bahwa “al-Qodli Ja’far Shodiq mendirikan masjid al-Aqsho dikota Kudus untuk mendekati Allah”, pada tahun 956 H atau 1549 M. Dalam hal ini ada kejanggalan karena memunculkan rentang waktu yang cukup panjang dan pendirian Kerajaan Islam Demak (1478 M) sekitar 71 tahun dan kerajaan Demak sudah beralih kesultanan empat kali dari Raden Ratah, Pati Unus, Sultan Trenggono, Sunan Prawoto, hingga prahara pertumpahan darah antara Arya Panangsang, Sultan Hadirin (suami Ratu Kalinyamat, Jepara), dan Hadiwijaya (Jaka Tingkir, Pajang). Padahal tahun 1549 M adalah masa penobatan Ratu Kalinyamat sebagai Adipati Jepara yang ditandai dengan candra sengkala “ Trus Karya Tataning Bumi “. Tafsiran lain tentang pendirian menara beserta masjidnya ini dikemukakan oleh arkeolog Universitas Indonesia, Prof. Dr. Soetjipto Wirjosuparto, memperkirakan berdasasrkan inskripsi berbentuk Candrasengkala dalam tulisan Jawa Kuno disebuah blandar puncaka atap menara yang berbunyi “Gapura Rusak Ewahing Jagad“ yang menunjukkan gapura (9), rusak (0), ewahing (6), jagad (1) dibaca dari belakang 1609 tahun jawa atau 1685 M. Disinilah yang menerangkan bahwa Masjid Menara Kudus dibangun sebelum tahun 1685 M. Prof. Dr. Soekmono dalam wawancara dengan Sholichin Salam berpendapat bahwa candra sengkala (kata-kata yang mengandung makna angka) bukanlah kata-kata sembarangan, tetapi kata pilihan yang memiliki kata relasi peristiwa besar, semisal perubahan pemerintahan dan lainnya. Kuat dugaan pada (1680-an) terjadi peristiwa besar di Pulau Jawa yang termasuk zaman Kerajaan Mataram pada masa kekeuasaan Sunan Amangkurat Amiral II (1679-1693), yang berpusat di Kartasura. Pada waktu itu, terjadi perlawanan Trunojoyo terhadap Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang membantu kesewenangan Sunan Amangkurat I dan Sunan Amangkutar II. Besarnya pengaruh VOC terhadap Sunan Amangkurat II memungkinkan hasutan untuk menghilangkan pengaruh kalangan “ Giri Kedaton “ dengan menghabisinya. Bisa jadi peristiwa itu perlu diabadikan dengan candra sengkala di Blandar Menara Kudus. Sementara AJ Bernet Kempers memperkirakan bangunan menara dibangun sekitar awal abad ke-16 tetapi diletakkan pada tanda kurung yang dibubuhi tanda tanya. Bangunan Menara Kudus tidak dapat dipisahkan dengan Masjid Menara Kudus (Masjid Al-Aqsho) dan makam Sunan Kudus karena secara geografis – fungsional ketiganya merupakan satu kesatuan inherent dengan sejarah berdirinya Kota Kudus. Nama kota Kudus bersumber dari prasasti di atas mihrab Masjid Menara Kudus yang kiranya berbunyi “ Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Telah mendirikan masjid al-Aqsho ini dan negeri Kudus khalifah pada zaman ulama dari keturunan Muhammad untuk membeli kemuliaan surga yang kekal, untuk mendekati Allah di negeri Kudus, membina masjid al-Manar yang dinamakan al-Aqsho khalifatullah di bumi. Yang agung dan mujtahid yang arif, Kamil Fadhil al-Maksus dengan pemeliharaan al-Qodli Ja’far Shodiq, pada tahun 956 Hijrah Nabi Muhammad “. Berdasarkan keterangan itu, tim sejarah UGM yang diketuai Dr. Djoko Suryo, dan beranggotakan Drs. Djoko Soekiman dan Dr. Inajati Romli beserta keturunan Sunan Kudus pada 1990 merekomendasikan bahwa hari jadi kota Kudus adalah 1 Ramadhan 956 H atau 23 September 1549 M. Rekomendasi itu disahkan dengan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah yang bernomor : 1883/278/1990 tertanggal 7 September 1990. Oleh Prof. RM. NG. Poerbatjaraka, menganggap satu-satunya kota diseluruh tanah Jawa yang menggunakan bahasa Arab adalah Kudus. Ini berawal dari disebutkannya negeri Kudus dalam prasasti diatas mihrab masjid. Dalam cerita masyarakat, dulu Sunan Kudus pergi haji sekaligus memperdalam ilmu agama dan singgah di Baitul Maqdis. Pada suatu masa terjadi wabah penyakit yang menjangkiti hampir seluruh penduduk. Untung dapat ditanggulangi oleh Sunan Kudus, sehingga pihak penguasa memberikan oleh-oleh berupa batu dari Baitul Maqdis, yang kini menjadi prasasti. Namun, oleh Duta Besar Turki untuk Indonesia pada 1989, Mr. M. Inegollu memberitahukan bahwa Baitul Maqdis tersebut bukan di kota Jerussalem, Palestina, tetapi di Aceh. Pada masa kesultanan Aceh pernah berdiri sebuah akademi militer denngan nama Baitul Maqdis yang dilatih oleh delegasi Turki. Akademi militer itu terdiri dari bagian laut dan darat. Bisa jadi memang Ja’far Shodiq menjadi salah satu dari peserta pelatihan tersebut, mengingat bahwa Sunan Kudus adalah Senopati Demak. Jadi, hubungan Aceh dan Demak sudah sangat erat waktu itu, karena didukung catatan historis, Pati Unus pernah membantu Aceh mengusir Portugis dengan memimpin 100 kapal pada 1512 dan 1513.

AL - HALLAJ

Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866 M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al- Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.
Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al- Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa AS) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, “Akulah Kebenaran”, padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman".
Pada tahun 892 M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran- pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.
Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al- Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al- Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran- pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al- Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899 M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli. Pada 906 M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Tahun 913 M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912 M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913 M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia. Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar : "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa- dosa mereka." Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri. Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial. Pada akhirnya, keberpihakan al- Hallaj berikut pandangan- pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918 M, ia diawasi, dan pada 923 M ia ditangkap. Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat- sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh- musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi. Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.

Jumat, 11 Maret 2011

AKHLAK TERHADAP SESAMA MANUSIA (SOSIAL) PESAN TOLERANSI DALAM SURAH AL HUJURAT AYAT 11-13

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka lebih baik dari mereka(yang menghina). Dan jangan pula wanita wanita terhadap wanita-wanita lainya. Boleh jadi mereka lenih baik dari mereka dan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah kefasikan sesudah iman, dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Al Hujurat :11).
“Hai orang orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa menggunjing sebagian yang lain apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?Tentu kamu meraa jijik dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha penerima Taubat dan Maha penyayang”. (Al Hujurat: 12)
“Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa, bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi maha mengenal” (Al Hujurat 13).
Ayat 11 Surat al Hujurat diatas memberi petunjuk tentang beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah timbulnya pertikaian. Dalam Ayat ini Allah mengingatkan kaum mukminin supaya jangan ada kaum yang mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi mereka yang diolok-olok pada sisi Allah lebih mulia dari pada kaum yang memperolok. Pesan yang sama juga Allah sampaikan kepada kaum perempuan yang mengolok-olok perempuan yang lain. Allah melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum mukminin semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan. Allah melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk seperti panggilan kepada sessorang yang sudah beriman dengan kata-kata: Hai fasik! Hai Kafir dan sebagainya. Tindakan mengolok-olok dan memberi panggilan yang buruk semacam ini dapat menjadi sumbu pertikaian dan menimbulkan keretakan antar kaum tersebut.
Lebih jauh kita mengaitkan ayat diatas dengan realitas kehidupan manusia dewasa ini yang plural dan multikultural. Sebuah wajah kehidupan penuh keragaman dan perbedaan antar bangsa yang seringkali menimbulkan konflik antar sesama manusia. Dan sumber konflik itu tak bisa dilepasakan dari pandangan moral kita sebagai manusia. Dalam masyarakat muslim sendiri, upaya mendiskreditkan kelompok (kaum) dengan ungkapan yang tidak pantas merupakan fenomena mutakhir. Di Indonesia, Fenomena penyebutan kafir, bid’ah, murtad, sesat, kepada saudara yang jelas-jelas muslim itu, saat ini telah membuat resah dan justru merenggangkan tali ukhuwah yang telah terjalin.
Ayat diatas merupakan ayat yang sangat penting untuk membangun etika sosial terutama dalam kapasitas kita sebagai manusia yang tak lain adalah makhluk sosial. Seharusnya dalam ranah sosial mesti tercipta keharmonisan sosial antara satu agama dengan agama lain, antara satu kelompok dengan kelompok lain, satu madzhab dengan madzhab lain dan seterusnya. Dalam konteks ini, sikap yang dicontohkan para ulama fikih merupakan khazanah yang dapat dijadikan teladan dan patut diamalkan terus menerus. Tujuanya tak lain adalah agar keragaman (pluralitas) dirayakan dalam rangka membangun kebersamaan dan toleransi.
Ayat selanjutnya 12, membawa pesan untuk orang-orang yang beriman, yang dari segi esensi makna sejalan dengan ayat 11 yakni pertama, melarang untuk berburuk sangka, mencari-cari kesalahan,dan bergunjing. Kedua Allah memberi perumpamaan bagi orang yang suka menggunjing seperti orang yang memakan bangkai saudaranya. Ketiga perintah takwa kepada Allah yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Ayat yang melarang untuk menggunjing dan mencari aib orang lain merupakan ajakan untuk menghargai dan menghormati keadaan orang lain meskipun berbeda pendapat. Dan dalam pandangan fikih pun membicarakan kesalahan orang lain (yang jelas-jelas memang salah) itu dilarang kecuali dalam kondisi tertentu. Ini merupakan wujud bahwa Islam sangat menghargai rasa kemanusiaan yang kadang akan tersakiti jika mengetahui kesalahanya dibicarakan oleh khalayak umum. Dan untuk menghargai rasa kemanusiaan itulah diperlukan toleransi dari setiap orang agar tidak menggunjing dan sebagainya.
Lebih lanjut tentang pesan toleransi dalam ayat diatas. Perbedaan adalah hal wajar dan lumrah. Penciptaan akal pikiran dalam diri manusia merupakan bukti konkret bahwa Tuhan menghendaki perbedaan. Yang menjadi masalah adalah ketika perbedaan dibangun diatas kebencian yang bisa menjuru pada konflik. Dan perbedaan semacam ini tidak dianjurkan oleh Al Qur’an. Dalam ayat-ayat ini Allah memerintahkan pada orang-orang yang beriman untuk memperhatikan dimensi sosial kemasyarakatan. Iman harus diterjemahkan dalam tindakan. Dan berdasar dua ayat diatas, untuk menterjemahkan iman dari ayat ini setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan.
1). Perintah untuk tidak menghardik, membenci atau mengolok-olok kaum lain. Alasan Al Qur’an adalah bisa jadi kaum yang dihina atau dibenci lebih baik dan mulia dari pada kaum yang menghina dan membenci. Pesan dari ayat ini berangkat dari kisah seorang sahabat nabi yang tuli bernama Tsabit bin Qays bin Syammas.
2). Larangan untuk mencela dan membuka aib orang lain. Menurut imam Ar Razi larangan ini lebih berat disbanding yang pertama. Karena yang pertama lebih bersifat simbolik namun yang kedua ini lebih memungkinkan memancing amarah.
3). Larangan untuk memberi gelar atau panggilan yang tidak pantas. Karena tindakan ini merupakan tingkatan tertinggi dalam upaya menebar kebencian, yaitu sudah masuk dalam pelabelan seseorang, kaum atau sebuah kelompok, yang dengan label panggilan tersebut akan dianggap mewakili karakter si penerima label tersebut.
Tiga hal tersebut semestinya dijadikan pedoman etika bermasyarakat bagi kaum muslim. Muslim yang baik tidak sepatutnya mengucapkan dan melakukan sesuatu yang tidak sesuai etika sosial tersebut. Kehidupan sosial yang didominasi sikap benci, ghibah, dan komunikasi yang tidak manusiawi pada akhirnya akan berujung pada perselisihan yang permanen. Maka sikap yang tepat yang harus dijunjung tinggi adalah toleransi.
Penjelasan diatas lebih lanjut didukung oleh ayat ke 13 yang menyebutkan secara eksplisit bahwa Allah berkehendak menciptakan kehidupan di dunia ini beragam-berbeda (lelaki-perempuan, bersuku-suku, berbangsa-bangsa) dengan tujuan saling mengenal. Mengenal disini dapat lebih luas dimaknai dengan membangun sikap toleransi, saling menghormati, menghargai dan mengembangkan pengertian antara sesama makhluk Tuhan.
Ayat 13 ini memiliki sebab turun yang bermula dari kisah ketidakadilan yang menimpa Abu Hindun kaum budak, ketika Nabi memerintahkan untuk menikahi kaum budak tersebut dan ditolak kerena dianggap memiliki derajat rendah, kemudian turunlah ayat ini.
Dari kacamata sosiologi politik sikap Rasulullah dengan merujuk pada ayat- tersebut merupakan sikap yang sangat moderat dan sejalan dengan semangat demokrasi, karena seluruh umat diperlakukan secara setara. Kaum budak yang secara sosiologis dimasa itu merupakan kaum marginal pun mendapat perlakuan yang sama dari Nabi, sehingga pada akhirnya sistem perbudakan ini di hapuskan sama sekali. Dan ini bukti bahwa sejak dahulu, Islam merupakan agama yang sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Relasi perempuan laki-laki yang selama ini mengalami ketimpangan akibat cara pandang diskriminatif pada zaman pra-Islam dengan sendirinya terhapus dengan datangnya Islam, terlebih setelah turunya ayat 13 surah al Hujurat ini. Kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, sejajar, dan setara, dan penciptaan keduanya memiliki tujuan agar mereka saling melengkapi, menyempurnakan satu sama lain untuk memakmurkan Bumi Allah yang luas dan kaya ini. Bukan untuk saling mengunggulkan satu kaum dan menindas kaum yang lainya seperti praktik kaum jahiliyah Arab sebelum Nabi diutus ke bumi.
Di samping itu Allah juga menciptakan manusia dalam bentuk berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Pesan Illahi yang menyiratkan bahwa hakikat dalam penciptaan adalah kebangsaan, dan karakter makhluk Tuhan di muka bumi adalah beragam. Dengan keberagaman ini diharapkan agar seluruh makhluknya membangun peradaban toleransi. Antara satu makhluk satu dengan makhluk lainya harus saling mengenal dan berdialog, berinteraksi, untuk memperkecil potensi konflik dan benturan akibat perbedaan-perbedaan yang ada. Tidak sepatutnya bila sebuah kelompok sosial tertentu membangga-banggakan dirinya dan merendahkan kelompok sosial lainya yang efeknya adalah semakin lebarnya jurang perbedaan dalam strata sosial. Karena itulah, Al Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia, senantiasa mendorong akhlak toleransi dan dialog untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dan damai.
Dan keluarga universal yang berakhlak toleransi ini tak akan merasakan kesejahteraan sejati tanpa ada dukungan dari lingkungan alam. Oleh karena itu manusia perlu juga bertoleransi kepada lingkungan. Perlu juga berdialog dan berinteraksi secara harmonis agar keduanya saling memberi kemanfaatan. Maka menurut kami sangat relevan jika pembahasan terakhir ini kita membicarakan tentang akhlak terhadap lingkungan.

Sumber :
• Al-Qur’an dan Terjemahnya
• Shihab, M. Quraish. 2009. Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Qur’an. Jakarta : Lentera Hati.
• Misrawi, Zuhairi. 2010. Al Qur’an Kitab Toleransi:Tafsir Tematik Islam Rahmatan lin ‘alamin. Jakarta : Pustaka Oasis.

Selasa, 08 Maret 2011

Habib Syech Bin Abdul Qodir Assegaf

   Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf adalah salah satu putra dari 16 bersaudara putra-putri Alm. Al-Habib Abdulkadir bin Abdurrahman Assegaf (tokoh alim dan imam Masjid Jami' Asegaf di Pasar Kliwon Solo), berawal dari pendidikan yang diberikan oleh guru besarnya yang sekaligus ayah handa tercinta, Habib Syech mendalami ajaran agama dan Ahlaq leluhurnya. Berlanjut sambung pendidikan tersebut oleh paman beliau Alm. Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf yang datang dari Hadramaout. Habib Syech juga mendapat pendidikan, dukungan penuh dan perhatian dari Alm. Al-Imam, Al-Arifbillah, Al-Habib Muhammad Anis bin Alwiy Al-Habsyi (Imam Masjid Riyadh dan pemegang magom Al-Habsyi). Berkat segala bimbingan, nasehat, serta kesabaranya, Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf menapaki hari untuk senantiasa melakukan syiar cinta Rosull yang diawali dari Kota Solo. Waktu demi waktu berjalan mengiringi syiar cinta Rosullnya, tanpa di sadari banyak umat yang tertarik dan mengikuti majelisnya, hingga saat ini telah ada ribuan jama'ah yang tergabung dalam Ahbabul Musthofa. Mereka mengikuti dan mendalami tetang pentingnya Cinta kepada Rosull SAW dalam kehidupan ini.
   Ahbabul Musthofa adalah salah satu dari beberapa majelis yang ada untuk mempermudah umat dalam memahami dan mentauladani Rosull SAW, berdiri sekitar Tahun1998 di kota Solo, tepatnya Kampung Mertodranan, berawal dari majelis Rotibul Haddad dan Burdah serta maulid Simthut Duror Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf memulai langkahnya untuk mengajak ummat dan dirinya dalam membesarkan rasa cinta kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW.
Sholawat rutin :
Setiap hari Rabu Malam dan Sabtu Malam Ba'da Isyak di Kediaman Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf .
Pengajian Rutin Selapanan Ahbabul Musthofa :
a) Purwodadi ( Malam Sabtu Kliwon ) di Masjid Agung Baitul Makmur Purwodadi.
b) Kudus ( Malam Rabu Pahing ) di Halaman Masjid Agung Kudus.
c) Jepara ( Malam Sabtu Legi ) di Halaman Masjid Agung Jepara
d) Sragen ( Malam Minggu Pahing ) di Masjid Assakinah, Puro Asri, Sragen.
e) Jogja ( Malam Jum'at Pahing ) di Halaman PP. Minhajuttamyiz, Timoho, di belakang Kampus UIN Suka.
f) Solo ( Malam Minggu Legi ) di Halaman Mesjid Agung Surakarta.
   Jangan hanya main band meniru dan mengidolakan gaya orang-orang kafir, tapi Nabi sendiri tidak pernah ditiru dan dipuji puji! Sudah saatnya bersholawat, menjunjung, memuji dan meniru Nabi Muhammad SAW agar memperoleh syafaatnya dan beliau mengakui kita sebagai umatnya, karena percuma saja kita yg mengaku ngaku umatnya, tapi tidak pernah bersholawat.

Senin, 07 Maret 2011

Kaidah Ushul Fiqh Mengenai Bayi Tabung

“darul mafaadisi muqoddamun ‘alaa jalbil mashoolikhi”. Menghindari madharat (bahaya) harus didahulukan atas mencari/menarik maslahah/kebaikan.Kita dapat memaklumi bahwa inseminasibuatan atau bayi tabung dengan donor sperma dan atau ovum lebih mendatangkan madharatnya daripada maslahahnya. Maslahahnya adalah bisa membantu pasangan suami istri yang keduanya atau salah satunya madul atau ada hambatan alami pada suami dan atau istri yang menghalangi bertemunya sel sperma dengan sel telur. Misalnya karena saluran telurnya (tuba falupii) terlalu sempit atau ejakulasinya (pancaran sperma) terlalu lemah. Namun, mafsadah inseminasi buatan atau bayi tabung itu jauh lebih besar, antara lain sebagi berikut:
a) Percampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian atau kehormatan kelamin dan kemurnian nasib, karena ada kaitannya dengan ke-mahram-an (siapa yang halal dan siapa yang haram dikawini) dan kewarisan;
b) Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam;
c) Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi atau zina, karena terjadi percampuran sperma dengan ovum tanpa perkawinan yang sah;
d) Kehadiran anak hasil inseminasi buatan bisa menjadi sumber konflik di dalam rumah tangga, terutama bayi tabung dengan bantuan donor merupakan anak yang sangat unik yang bisa berbeda sekali bentuk dan sifat-sifat fisik dan karakter atau mental si anak dengan bapak ibunya;
e) Anak hasil inseminasi buatan atau bayi tabung yang percampuran nasabnya terselubung dan sangat dirahasiakan donornya adalah lebih jelek daripada anak adopsi yang pada umumnya diketahui asal atau nasabnya;
f) Bayi tabung tanpa proses kasih sayang yang alami (natural), terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang harus menyerahkan bayinya kepada pasangan suami istri yang punya benihnya, sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan antara anak dengan ibunya secara alami.
Mengenai status atau anak hasil inseminasi dengan donor sperma dan atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi. Dan kalau kita perhatikan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1/1974 : “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”; maka tampaknya memberi pengertian bahwa bayi tabung atau anak hasil inseminasi dengan bantuan donor dapat dipandang pula sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal-pasal dan ayat-ayat lain dalam UU Perkawinan ini, terlihat bagaimana besarnya peran agama yang cukup dominan dalam pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya pasal 2 (1) tentang pengesahan perkawinan, pasal 8 (f) tentang larangan kawin antaradua orang karena agama melarangnya, pasal 29 ayat 2 (sahnya perjanjian perkawinan), dan pasal 37 dengan penjelasannya (pengaturan harta bersama dalam perkawinan bila terjadi perceraian), dan lagi negara kita tentunyatidak mengizinkan inseminasi buatan dengan sperma dan atau ovum donor, karena tidak sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 paal 29 ayat 1, dan bangsa Indonesia yang religious itu. Oleh karena itu, paal UU Perkawinan No. 1/1974 harus dipahami dan diberi interpretasi tanpa lepas kaitannya dengan pasal-pasal dan ayat-ayat lainnya dan Pancasila serta UUD 1945 di atas, atau pasal 42 UU Perkawinan itu perlu diberi tambahan penjelasan sehubungan dengan adanya teknologi bayi tabung atau inseminasi buatan dengan donor atau dengan transfer embrio ke rahim ibu titipan atau kontrakan.
Asumsi Menteri Kesehatan bahwa masyarakat Indonesia termasuk kalangan agama nantinya bisa menerima bayi tabung seperti halnya KB. Namun harus diingat bahwa kalangan agama bisa menerima KB karena pemerintah tidak memaksakan alat atau cara KB yang bertentangan dengan agama, seperti terilisasi., Menstrual Regulation dan abortus. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah juga hanya mau mengizinkan praktek inseminasi atau bayi tabung yang tidak bertentangan dengan prinsip agama, dalam hal ini Islam melarang sama sekali percampuran nasab dengan peralatan sperma dan atau ovum donor.

Kaidah Ushul Fiqh Mengenai Masalah Aborsi


“Idza taaradha mafsadatani ruiya azhamuha dhararan birtikabi akhaffihima”. Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih ringan madharatnya.
Berdasarkan kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya. Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan madharatnya dari pada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut.
Pendapat yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalah pendapat yang tidak kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel itu belum bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah (1963) halaman 85 adalah sesuatu yang ada pada organisme hidup (asy syai` al qa`im fi al ka`in al hayyi).
Ciri-ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel sperma. Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya ada setelah pembuahan.
Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang mengharamkan aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, adalah pendapat yang lemah, sebab tidak didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat akan pengertian kehidupan (al hayah). Pendapat tersebut secara implisit menyatakan bahwa sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma, berarti tidak ada kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal faktanya tidak demikian. Andaikata katakanlah pendapat itu diterima, niscaya segala sesuatu aktivitas yang menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk azl. Sebab dalam aktivitas azl terdapat upaya untuk mencegah terjadinya kehidupan, yaitu maksudnya kehidupan pada sel sperma dan sel telur (sebelum bertemu). Padahal azl telah dibolehkan oleh Rasulullah SAW. Dengan kata lain, pendapat yang menyatakan haramnya aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, akan bertentangan dengan hadits-hadits yang membolehkan azl.
Aborsi bukan sekedar masalah medis atau kesehatan masyarakat, namun juga problem sosial yang muncul karena manusia mengekor pada peradaban barat. Maka pemecahannya haruslah dilakukan secara komprehensif-fundamental-radikal, yang intinya adalah dengan mencabut sikap taqlid kepada peradaban barat dengan menghancurkan segala nilai dan institusi peradaban barat yang bertentangan dengan Islam, untuk kemudian digantikan dengan peradaban Islam yang manusiawi dan adil
Hukum aborsi dalam pandangan Islam menegaskan keharaman aborsi jika umur kehamilannya sudah 4 (bulan, yakni sudah ditiupkan ruh pada janin. Untuk janin yang berumur di bawah 4 bulan, para ulama telah berbeda pendapat. Jadi ini memang masalah khilafiyah. Namun menurut pemahaman kami, pendapat yang rajih (kuat) adalah jika aborsi dilakukan setelah 40 hari atau 42 hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa.