“darul mafaadisi muqoddamun ‘alaa jalbil mashoolikhi”. Menghindari madharat (bahaya) harus didahulukan atas mencari/menarik maslahah/kebaikan.Kita dapat memaklumi bahwa inseminasibuatan atau bayi tabung dengan donor sperma dan atau ovum lebih mendatangkan madharatnya daripada maslahahnya. Maslahahnya adalah bisa membantu pasangan suami istri yang keduanya atau salah satunya madul atau ada hambatan alami pada suami dan atau istri yang menghalangi bertemunya sel sperma dengan sel telur. Misalnya karena saluran telurnya (tuba falupii) terlalu sempit atau ejakulasinya (pancaran sperma) terlalu lemah. Namun, mafsadah inseminasi buatan atau bayi tabung itu jauh lebih besar, antara lain sebagi berikut:
a) Percampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian atau kehormatan kelamin dan kemurnian nasib, karena ada kaitannya dengan ke-mahram-an (siapa yang halal dan siapa yang haram dikawini) dan kewarisan;
b) Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam;
c) Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi atau zina, karena terjadi percampuran sperma dengan ovum tanpa perkawinan yang sah;
d) Kehadiran anak hasil inseminasi buatan bisa menjadi sumber konflik di dalam rumah tangga, terutama bayi tabung dengan bantuan donor merupakan anak yang sangat unik yang bisa berbeda sekali bentuk dan sifat-sifat fisik dan karakter atau mental si anak dengan bapak ibunya;
e) Anak hasil inseminasi buatan atau bayi tabung yang percampuran nasabnya terselubung dan sangat dirahasiakan donornya adalah lebih jelek daripada anak adopsi yang pada umumnya diketahui asal atau nasabnya;
f) Bayi tabung tanpa proses kasih sayang yang alami (natural), terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang harus menyerahkan bayinya kepada pasangan suami istri yang punya benihnya, sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan antara anak dengan ibunya secara alami.
Mengenai status atau anak hasil inseminasi dengan donor sperma dan atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi. Dan kalau kita perhatikan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1/1974 : “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”; maka tampaknya memberi pengertian bahwa bayi tabung atau anak hasil inseminasi dengan bantuan donor dapat dipandang pula sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal-pasal dan ayat-ayat lain dalam UU Perkawinan ini, terlihat bagaimana besarnya peran agama yang cukup dominan dalam pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya pasal 2 (1) tentang pengesahan perkawinan, pasal 8 (f) tentang larangan kawin antaradua orang karena agama melarangnya, pasal 29 ayat 2 (sahnya perjanjian perkawinan), dan pasal 37 dengan penjelasannya (pengaturan harta bersama dalam perkawinan bila terjadi perceraian), dan lagi negara kita tentunyatidak mengizinkan inseminasi buatan dengan sperma dan atau ovum donor, karena tidak sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 paal 29 ayat 1, dan bangsa Indonesia yang religious itu. Oleh karena itu, paal UU Perkawinan No. 1/1974 harus dipahami dan diberi interpretasi tanpa lepas kaitannya dengan pasal-pasal dan ayat-ayat lainnya dan Pancasila serta UUD 1945 di atas, atau pasal 42 UU Perkawinan itu perlu diberi tambahan penjelasan sehubungan dengan adanya teknologi bayi tabung atau inseminasi buatan dengan donor atau dengan transfer embrio ke rahim ibu titipan atau kontrakan.
Asumsi Menteri Kesehatan bahwa masyarakat Indonesia termasuk kalangan agama nantinya bisa menerima bayi tabung seperti halnya KB. Namun harus diingat bahwa kalangan agama bisa menerima KB karena pemerintah tidak memaksakan alat atau cara KB yang bertentangan dengan agama, seperti terilisasi., Menstrual Regulation dan abortus. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah juga hanya mau mengizinkan praktek inseminasi atau bayi tabung yang tidak bertentangan dengan prinsip agama, dalam hal ini Islam melarang sama sekali percampuran nasab dengan peralatan sperma dan atau ovum donor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar