Senin, 21 Maret 2011

Melawan Budaya Korupsi dengan Pendidikan Anti Korupsi


Korupsi telah menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa Indonesia. Korupsi sudah menjalar hingga institusi-institusi masyarakat terkecil. Korupsi sudah tidak lagi selalu berkait dengan penyimpangan dalam birokrasi struktura, namun juga telah mengakar dalam budaya hidup sehari-hari masyarakat.
Pemberantasan korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun masih terus berjalan, namun meski berbagai upaya tegas menindak perilaku korupsi telah dilakukan, nyatanya korupsi masih saja menggurita. Sebagai Negara yang mengaku sedang serius memberantas korupsi, Indonesia memiliki perangkat hukum yang cukup lengkap. Ada content of law (TAP MPR, UUD, UU Anti Korupsi, dll), dan structure of law (KPK, Polisi, Jaksa, Hakim, dll) yang telah lama dipakai sebagai kekuatan untuk memerangi korupsi di Indonesia dari tingkat pusat hingga daerah. Lalu, mengapa tidak ada perubahan yang signifikan?
Hamim Ilyas, doktor dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyatakan bahwa maslah terletak pada budaya hukum yang dijalan pada saat ini. Meskipun penegakan hukum sangat penting, pada sisi lain, pemberantasan korupsi harus dijalankan secara simultan. Tidak hanya penyelesaian kuratif melalui hukum, kita perlu merambah ke usaha-usaha preventif melalui pembangnan kesadaran tiap warga. Karena itulah pendidikan anti korupsi mulai dilirik sebagai alternatif untuk membangun kesadaran korupsi secara kultural dan moral.
Melalui pendidikan, diharapkan permasalahan diseputar tindak korupsi bisa dipahami dengan lebih mendalam. Peserta didik bisa mengenal apa itu korupsi, bentuk-bentuknya, dampak, dan juga sekaligus sanksi hukum yang akan diterima. Dari pengetahuan inilah diharapkan mereka bisa memiliki kesadaran untuk mencegah dan mengatakan tidak pada korupsi. Karena korupsi yang telah menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan lini kehidupan, pendidikan anti korupsi seyogyanya tidak hanya diperuntukkan bagi peserta didik di lembaga sekolah saja, namun juga untuk masyarakat secara luas, khususnya perangkat negara.
Salah satu hal yang amat penting dalam pencegahan korupsi, menurut Ghoffar, adalah keteladanan dan kepemimpinan. Dimulai dari wilayah terkecil, keluarga oleh orang tua, sekolah dari guru-guru, organisasi masyarakat oleh para tokoh masyarakat, dan lembaga pemerintahan dari para birokratnya.
Akan sangat menggelikan, jika Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama menyusun kurikulum anti korupsi, tetapi pada kenyataannya kedua lembaga ini masih saja penuh dengan praktik-praktik korupsi. Dalam situasi korupsi yang sudah akut ini, tak heran jika banyak orang pesimis dengan langkah yang diambil Diknas dan Depag se-Indonesia untuk memperkecil perilaku korupsi melalui pendidikan anti korupsi. Namun, seperti yang dinyatakan Ghoffar, keberhasilan tidak selalu berangkat dari hal-hal bersar.

Tidak ada komentar: